It’s A Place for Self-Reflection, The World of Words Expressing Limitless Thoughts, Imagination, and Emotions

Selasa, 16 September 2008

Cerpen: KEMATIAN SUKRENI

Sukreni mati dua kali. Kematian pertama terjadi bersama tewasnya suami dalam insiden bom Bali. Karena suami adalah cinta seja-tinya—dan segalanya, hidup sela-jutnya bagai ilalang di padang gersang. Luka itu sangatlah dalam. Tidak sedikit lelaki yang ingin mengobati luka itu. Namun, sebelum ditemukan seseorang yang mampu melakukannya, ke-matian keduanya pun terjadi.
Akibat kematian Sukreni, pagi itu kemacetan menumpuk di depan Pasar Sanglah, dari arah selatan maupun timur. Ambulans meraung-raung, diselingi klakson bertalu. Berpuluh orang menjejali mulut Jln. Pertani, seberang barat pasar itu. Pangkalan ojek dan parkir mobil para tengkulak sarat manusia. Penjual-pembeli yang memenuhi sisi utara dan barat pasar ikut menyaksikan. Mereka berbisik-bisik, manggut-manggut, geleng-geleng. Laksana angin, berita kematian Sukreni cepat menyebar dari mulut ke mulut. Ambulans meluncur ke RSU Sanglah.
Rumah besar dan mewah krem itu kembali sunyi. Sesekali jerit histeris terdengar sayup-sayup. Belasan tetangga, dengan wajah sendu, hanya bergerombol di sekitar pohon mangga gadung. Semerbak bebungaan, dan asrinya tetamanan larut dalam duka. Police line yang mengitari rumah itu adalah garis pembatas kema-tian.
Lelaki mana yang tak kehi-langan Sukreni? Usianya baru 25 tahun. Hidungnya bangir, matanya bulat bak telur, kulitnya putih mulus, tubuhnya sintal, dan cer-das. Dan satu lagi: kaya! [Tentu saja warisan dari suaminya.] Pe-rempuan sempurna, baik fisik maupun kepribadian. Aora kecan-tikannya memancar, daya pikatnya luar biasa. Ditunjang gaya hidup-nya yang cukup mewah, Sukreni menghabiskan kata untuk melu-kiskannya. Bahkan, dalam keada-an mati pun, Sukreni tetap mem-pesona.
Satu tim polisi telah meng-gelar olah TKP (tempat kejadian perkara), cermat dan seksama. Se-jumlah saksi mata dimintai kete-rangan. Kemudian, mereka mem-bawa barang-bukti (BB) berupa kartu identitas, buku harian, belati berlumuran darah, kain pink berlukisan abstrak daun waru ter-tancap anak-panah, T-Shirt, dan patung kayu.
Aku tidak terkejut dengan semua BB itu. Ini permainanku, sebuah narasi besar yang melekati Sukreni. Kepergian Sukreni harus ada tumbalnya. Mereka orang-orang yang mencintai Sukreni, yang telah kukenal latar belakang-nya. Semua BB tersebut terkait langsung dengan calon tersangka. T-Shirt mengarah ke Alex, patung kayu ke Didin, dan lukisan daun waru ke Made. Sebelum mening-galkan Sukreni malam itu, dengan segala kehancuranku, ‘kupinjam’ tangannya untuk menulis dengan tinta darahnya sendiri ke lantai: PELUKIS.
***
Semula aku sendiri menge-nal Made, Didin, dan Alex dari Sukreni. Made, 29, adalah saha-batnya. Wataknya gabungan me-lankolis dan plegmatis. Bertahun-tahun persahabatan itu, katanya, begitu indah ketika sama-sama masih seusia SMP tinggal di ka-wasan Margorejo, Surabaya. Seta-mat SMP Sukreni pindah ke Den-pasar, ikut neneknya. Made pun, diam-diam, mengikutinya, dan tinggal di Ubud. Dia seniman yang kaya—karena mewarisi harta mo-yangnya.
Didin, 30, adalah pengusaha kayu (patung) yang berbakat melu-kis, tinggal di Batu Bulan Gianyar. Dia melankolis, suka merenung, suka memendam perasaan—tapi dia mampu mencintai seseorang sepenuh jiwa. Dia pengusaha kayu (patung) yang sukses. Dia datang-kan kayu (patung) dari Besuki, Jawa Timur. Sekali tempo dia melukis, menghidupkan bakat ter-pendamnya. Sementara itu, ibunya telah mendesaknya segera meni-kah. Adalah Sukreni yang telah menggoyahkan imannya, namun sikap Sukreni masih jinak-jinak merpati.
Sementara, Alex , 33, lelaki berwatak koleris kuat, berbakat meminpin. Dia tak suka diatur-atur, apalagi bekerja di bawah perintah orang lain. Karena itu, dia menjadi pebisnis restoran Eagle 2 di Badung, Eagle 3 di Gilimanuk, dan Eagle 4 di Tabanan. Intuisi bisnisnya sangat tajam, bagai elang yang siap menerkam mang-sa. Dia mengenal Sukreni sejak se-belas bulan silam—ketika Sukreni menggelar presentasi bisnis MLM di aula Eagle 2.
Begitulah aku mengenal mereka, dan dalam setiap per-temuan Sukreni selalu menyan-jung tiga lelaki itu. Dulu Sukreni mengukur kehebatan suaminya berkat kemampuan mencintai. Tapi, prinsip itu terkubur bersama suami. Kini kesuksesam dan keka-yaan adalah ukuran kehebatan seorang lelaki. “Cinta perlu perwu-judan. Dengan uang, orang bisa memuluskan perwujudan cinta-nya.”
Ah, aku sepantasnya marah mendengarnya. Sebagai polisi, seo-rang Ajun Kompol, aku merasa melarat, tidak sebanding dengan Made, Didin atau Alex. Tetapi, setiap kali menghadapi Sukreni, aku tidak bisa marah. Meski kata-katanya lebih menyakitkan pun, aku tidak kuasa marah. Aku be-nar-benar takluk padanya.
“Saya tidak materialistis kok, mas,”katanya sambil melihat-lihat brosur fitness center yang dikelo-lanya. “Saya realistis. Sekarang serba kurs dolar, mahal. Bila saya menikahi sampean[i], saya mau berhenti total dari pekerjaan.” La-lu, diperiksanya jadwal presentasi bagi down-line-nya. Maklum, pe-ringkat Emerald dalam bisnis MLM membuatnya sibuk belakangan ini. “Saya akan jadi isteri sempurna, dan ibu rumah tangga yang purna.”
Dadaku berdegup. “Gimana aku memenuhi tuntutan itu?”
“Pengabdian dan impian. Itu paradoks.”
“Pengabdian dan impian? Apa maksudmu?”
“Ya, sampean penjunjung pengabdian. Polisi itu kan abdi negara, abdi masyarakat. Sebagai abdi, sampean harus jujur, tak boleh korupsi, tak macem-macem. Abdi hanya berhak menerima yang diberikan, tak boleh menuntut lebih. Sampean tak mau melaku-kan pekerjaan lain, karena bagi sampean hal itu mengkorup waktu pengabdian. Jadi, beginilah hasil-nya. Pengabdian adalah keterba-tasan uang. Tiada kebebasan me-rancang masa depan.”
Sejak tadi, dari mulut mu-ngilnya kata-kata itu mengalir de-ras. Dalam hati aku sebenarnya mengiyakan Sukreni. Gaji bulan-anku mungkin kedodoran untuk gaya hidup Sukreni—bahkan mi-nim hanya untuk mencukupi alat kecantikannya. Orang cantik ma-hal harganya, pikirku. Keterba-tasan inilah yang membuatku me-nunda berkeluarga.
“Apa maksudmu impian?” selidikku, menatapnya tajam, mi-rip anak SD yang ikut les privat. Pesona parasnya sangat menen-tramkan. Ah, wanita modern yang sempurna.
Setelah menghela napas, dia bertutur: “Sampen punya impian, tapi mungkin tak bisa hebat, karena terikat ketaatan sampean pada pengabdian. Padahal impian besar, perlu langkah besar, kon-sentrasi besar. Membangun rumah saja ada skets dan rencana, masak membangun masa depan tanpa impian besar? Dan itu tak terwu-jud selama sampean jadi abdi ne-gara. Lihatlah, mas, saya, Made, Alex, Didin semua punya impian besar.”
Ucapan Sukresi terasa pe-das. Namun, pesona itu kembali meluluhkan hatiku.
“Dan saya tak suka lelaki yang tak punya impian,”katanya kalem, tampak hati-hati. “Dia identik orang impoten. Impoten simbol kekalahan, kan?”
“Berarti kamu menolakku hanya karena aku miskin?”
“Saya suka mas Bambang. Tapi saya tak suka orang yang tak punya impian.”
“Itu sama saja memojokkan saya.”
“Seperti saya bilang, saya akan stop kerja kalau menikahi sampean. Berarti income sampean harus mencukupi keluarga. Jika tidak, siapa yang mau bertaruh?” Dia memegang tanganku. “Tapi maaf lho, mas, saya tak bermak-sud melukai hati sampean.
Kali ini dadaku hampir mele-dak. Sukreni tak hanya melukai hatiku, malah telah merendah-kanku. Itu suatu penolakan halus yang harus kuterima. Dalam wak-tu dekat mustahil aku mencapai penghasilan yang diimpikan Su-kreni. Memang realistis, tapi juga mustahil!
Begitulah, Sukreni mengob-sesi hidupku. Semakin hari aku mencintai Sukreni, semakin dalam aku tersiksa. Aku harus rela diren-dahkan oleh kata-katanya, meski terdengar merdu dan mengasyik-kan. Adakah ketakberdayaan-ku ini berkesudahan? Adakah keka-lahanku bukan kematian tapi kehidupan yang baru? Permainan hidup apakah yang kualami?
***
Permainanku berjalan mu-lus. Kasus ini dilimpahkan dari Polsek Denpasar Barat ke Polta-bes, tempatku bertugas. Kini di ruang interogasi Made, Didin, dan Alex diperiksa bergantian atas kasus Sukreni. Bukti-bukti olah TKP dan periksa-silang lapangan mencatat: Salah satu tersangka, seorang pelukis, adalah pembu-nuh Sukreni. Tugas timku, mengo-rek keterangan—bagiku, memojok-kan—mereka satu persatu.
“Jadi Anda yang membunuh Sukreni ya?” sergahku, meyakin-kan.
Didin terkejut mengamatiku. Selama ini dia tak tahu bahwa aku seorang polisi. “Bukan, pak. Saya bukan pembunuh,” bibirnya geme-taran.
“Anda yang melukis daun waru ini kan?”
“Sumpah, pak, tidak. Saya bisa melukis, tapi tidak melukis daun waru itu.”
“Anda lukis daun waru itu, lalu Anda selipkan ke dalam tas Sukreni pada suatu pesta perka-winan. Itu simbol cinta, tapi seka-ligus ancaman.”
“Saya tidak paham maksud bapak.”
“Lewat lukisan itu, Anda simbolkan cinta pada Sukreni. Tapi karena tak dibalas, Anda mengancam membunuhnya.”
“Sumpah, pak, tidak. Saya memang bisa melukis, dan saya mencintai, bahkan pernah mela-mar, Sukreni tetapi saya tidak membunuhnya.”
Didin semakin gemetaran. Sesekali dia mengigit bibirnya.
“Pengakuan Made dan Alex memberatkan Anda.” Tentu saja ini jebakanku belaka. ”Andalah yang paling ngebet menikahi Su-kreni. Dan dia belum bersedia. Be-nar kan?”
“Memang, cinta saya belum terbalas. Bagi saya, cinta itu buah perkawinan. Saya yakinkan Sukre-ni, bahwa cintanya akan subur setelah perkawinan, sebab untuk Sukreni saya mencinta dengan se-gala cinta. Tapi, sumpah, saya tak terlibat pembunuhan itu.”
Sekonyong Letda Putu meni-mang patung kayu Sukreni. BB itu tampak indah dan mulus. Sukreni seakan hidup kembali. “Apa hu-bunganmu dengan patung ini?”
“Saya bisa melukis, kadang buat patung kayu. Saya kan peng-usaha kayu (patung). Sebagai buk-ti cinta, saya buatkan dia patung ini. Tapi saya sungguh tak terlibat pembunuhan.”
“Oke, tidak terlibat, tetapi Anda dendam kan?”
“Sumpah tidak, pak. Saya tahu, cinta tak mengenal hukum. Tapi, saya punya agama sehingga saya tak perlu berpendirian seperti itu. Cinta tetap ada aturannya, ada hukumnya.” Kini suaranya man-tap, tak tampak ada getaran di bibirnya.
“Anda tahu sanksinya dusta di bawah sumpah?” tukasku spon-tan.
“Hukumanmu lebih berat. Mengaku sajalah,” sahut Letda Putu cepat.
“Meski dibunuh pun, saya tidak akan mengaku telah mem-bunuh Sukreni. Demi Allah, saya tak membunuhnya. Andai saya membunuh, saya pasti meng-akuinya—setidaknya itu mengu-rangi dosa saya. Bagi saya, lebih baik mati dengan iman dan keju-juran daripada hidup membawa dusta.”
Bripka Jono menyendutkan rokoknya ke telapak Didin. Didin memejamkan mata, keringatnya bercucuran. Namun, tak sepatah pun keluar dari mulutnya. Dua kali lagi Bripka Jono melakukan hal serupa, namun Didin tetap bungkam. Kini aku mendapat sinyal dari Atasan. Penyelidikan pun dihentikan.
***
Mirip Didin, Made juga ter-kejut atas penampilanku. Permain-anku masih berlangsung mulus. Aku memasang wajah formal, sedang Letda Putu tenang, dan Bripka Jono angker.
“Made, mau rokok?” tanyaku memecah suasana. “Ini Marlboro, favoritmu.”
Dengan dua jempol terikat, dia kesulitan menjepit sebatang ro-kok. Kepulan asap pun mulai me-nari di udara. “Di sel juga ada suap ya?” Dia menyeringai lepas.
“Dengar, Anda yang melukis daun waru ini kan?”
Dia menyeringai lagi. “Tidak, saya bukan pelukis, dan tidak melukis daun waru itu.”
“Anda melukis daun waru itu, lalu memasukkannya ke da-lam tas Sukreni. Bukan simbol cinta, itu ancaman.”
“Saya ndak paham maksud sampean.”
“Kami temukan sanggar ba-wah tanahmu di Ubud.”
“Sanggar? Saya ndak paham maksud sampean.”
“Kami juga temukan lukisan daun waru di sana. Itu petunjuk keterlibatanmu.”
“Bah! Apa hubungannya?” Matanya menghunjam lantai.
“Sanggar, lukisan daun wa-ru. Juga lukisan Sukreni, enam jenis pose. Kelihatannya Anda kok sangat menikmati melukis Sukre-ni. Berarti Anda pelukis, kan?”
“Bukan, saya bukan pelu-kis.”
“Kok banyak lukisan Sukre-ni?”
“Saya kolektor. Saya hidup dari mengoleksi lukisan.”
“Tapi, kenapa Anda mengo-leksi lukisan Sukreni?”
“Simbol persahabatan. Dan itu harus diabadikan.”
Aku mencoba berteori: “Per-sahabatan sering berakhir dengan cinta.”
“Tapi saya ndak setuju sam-pean. Persahabatan kami seja-ti,”tegasnya.
“Itu kan menurut Anda? Ba-gi saya, antara pria dan wanita tak mungkin ada persahabatan sejati. Ada nafsu, permusuhan, penyem-bahan, cinta. Tapi bukan persa-habatan.”
“Terserah sampean. Dan sa-ya tegaskan, saya ndak terlibat pembunuhan Sukreni.”
“Memangnya Anda punya alibi?”
“Saat kejadian, saya pelesir di Kuta, dan menginap di sana.”
“Hasil BAP Polsek, saat seputar kejadian, Anda sempat beli rokok di kios pada mulut Jln. Pertani. Menurut saksi mata, Anda berjaket coklat gelap, dan sangat terburu-buru.” Aku masih ingat, si pemilik kios (24 jam) itu meman-dangku dengan tatapan curiga.
“Omong kosong. Itu rekaya-sa. Saya terpaksa mengaku karena terus disiksa.”
“Jadi Anda pelesir di Kuta untuk cari inspirasi melukis?”
“Pelesir ya pelesir. Dan saya bukan pelukis.”
“Lalu, kain pink dengan lu-kisan daun waru ini?”
Dia tampak tenang. “Mana saya tahu? Saya bukan pelukis. Titik.”
***
Alex juga agak terkejut melihatku. Namun, dia cepat menguasai diri. Perhatiannya lebih tertuju pada Bripka Jono dan Letda Putu. Kini dua partnerku menatap tajam Alex.
“Hei, bung, Anda naksir Sukreni kan?” kata Bripka Jono. Dia mengelus-elus tongkat legam. Kepulan rokoknya mulai mela-yang.
“Terus terang, pak, saya se-rius pada Sukreni. Tapi, dia belum menjawab lamaran saya. Katanya, masih ada urusan dengan orang lain.”
“Orang lain siapa?”
“Dia tak pernah menyebut nama,” tukasnya tanpa ragu. “Dia cuma pernah bilang, seorang pe-lukis.”
“Jangan lempar batu sembu-nyi tangan.”
“Untuk apa saya dusta, pak?”
Letda Putu mendekat. “Ingat T-Shirt ini?”
“Sangat ingat, pak. Saya memberinya suvenir ketika Su-kreni saya ajak ke rumah makan saya Eagle 4 di Tabanan. Dia suka alam pedesaan. Di sana saya se-diakan suvenir. Jadi, waktu Su-kreni tertarik, saya girang. Saya kira dia memberi lampu hijau.”
“Anda tahu Sukreni ditemu-kan tewas, masih pakai T-Shirt ini?”
“Tidak, pak. Sungguh,” ja-wabnya, shock. Suaranya berat. “Tapi, alangkah bodohnya saya andaikan membunuh Sukreni, tapi membiarkan T-Shirt dari saya ini dipakai Sukreni.”
Aku, Putu, dan Jono ber-pandangan. “Jadi, pelukis yang juga pebisnis?”
“Kayaknya…semacam itulah. Katanya, urusan dengan pelukis.”
Ada puisi dalam diary Su-kreni.” Aku menunjukkannya. “Ke-nal puisi ini?”
Sejenak Alex mengerjapkan matanya. Lalu dia pun memba-canya perlahan:
Sekuntum Rus Merah
O, kasihku laksana rus merah
Yang di bulan Juni baru meme-kar
O, kasihku laksana melodia
Yang indah selaras dimainkan.
Sejujur seni engkau, sayang,
Begitu dalam aku mencinta
Dan aku akan mencintamu, sayang,
Hingga seluruh laut kerontang.
Hingga semua laut kerontang, sayang,
Dan bebatuan meleleh dengan
baskara
Dan aku akan mencintamu, sayang,
Sedang pasir kehidupan beter-
bangan.
Dan betapa berharga kau, sayang,
Dan betapa berharga dikau kini.
Dan aku kan datang kembali, sayang,
Meski andai kita sepuluh mil lagi.[ii]
Tampaknya Alex mengingat-ingat sesuatu. “Rasanya saya per-nah baca puisi itu, entah kapan. Sukreni yang menunjukkannya. O ya, puisi itulah, kata Sukreni, tulisan si pelukis yang saya mak-sudkan.”
“Seberapa dekat sih Anda dengan Didin?” Letda Putu menge-jar.
“Saya bertemu beberapa ka-li, tapi urusan bisnis MLM. Per-nah sih saya lihat dia mengantar Sukreni ke pesta perkawinan. Waktu itu saya belum naksir Su-kreni.”
“Jangan-jangan dia cembu-ru, lalu melibas Sukreni sekalian?”
Alex tampak kelelahan dan pucat. “Kalau saya di posisi dia, saya mustahil gegabah seperti itu. Ada cara yang lebih elegan dari-pada membunuh.”
“Bila jadi dia, apa yang akan Anda lakukan?”
“Komunikasi. Saya bicara-kan, nego, kompromi atau entah apa namanya. Pokoknya cari so-lusi. Saya yakin, semua masalah ada solusinya.”
“Jadi Didin tidak cemburu dan melibas Sukreni?”
“Saya kira tidak mungkin. Tapi entahlah kalau ego-nya seba-gai seniman muncul. Meski pengu-saha, dia kan punya bakat seni-man?”
“Mengapa Anda berpikir be-gitu?”
“Dalam situasi tertentu, se-mua seniman dan penyair ada-lah orang yang anti-sosial.[iii] Mereka melankolis, perasaannya dalam, amarahnya bisa menghancurkan.”
“Jadi Anda mengira Didin terlibat pembunuhan Sukreni?”
Alex menunduk lesu. Dia menelan ludah, lalu menutupi wa-jahnya dengan kedua tapak tangannya. Dengan suara berat dia bertutur ,“Seorang pelukis yang membunuh Sukreni.”
“Maksud Anda Didin?” kejar-ku. Kulihat Bripka Jono tak sabar atas pengakuan Alex. Giginya ge-meretak, bogemnya siap meninju.
Tiba-tiba Alex meronta-ron-ta. Putu dan Jono sigap meme-gangnya. Terengah-engah dia ber-teriak, “Seorang pelukis membu-nuh Sukreni.”
***
Tibalah aku menjawab ka-sus ini. Aku tersenyum dalam hati, sambil membatin,” Permainan ini masih belum berakhir.” Maka di-dampingi Letda Putu dan Bripka Jono, aku memetakan pernyataan kunci Made, Didin, dan Alex di atas kertas. Fokusnya, menguji ke-benaran status profesi, kemung-kinan keterlibatan, dan motif pem-bunuhan.
Made:
[1] Saya bukan pelukis [juga ko-lektor].
[2] Saya tak terlibat pembunuhan Sukreni.
[3] Saya sahabat Sukreni, belum mencintainya.
Didin:
[4] Saya bisa melukis [dan pebis-nis].
[5] Tapi saya tak terlibat pembu-nuhan Sukreni.
[6] Saya mencintai, tapi cinta saya belum terjawab.
Alex:
[7] Saya bukan pelukis.
[8] Seorang pelukis yang membu-nuh Sukreni.
[9] Sebagai penaksir, saya tak tega membunuhnya. Mungkin mantan sahabat yang cemburu, atau cinta-nya ditolak.
Hasil investigasi:
[10] Hanya empat dari pernyataan di atas yang benar.
[11] Ternyata hanya satu dari ketiga orang itu yang bukan pelukis.
Semenjak tadi kedua partner
ku memperhatikanku membuat pemetaan. Lagi pula, ruang kerja-ku bebas rokok; karena itu, mere-ka tidak menyulut Djie Sam Soe-nya.
Sejenak aku melirik Bripka Jono. “What do you think, guy?” Aku mempraktikkan privat Inggris-ku.
Dia mengerutkan kening, lalu berkata,”Begini, pak. Bila [2] dan [5] benar, Alex pembunuh Sukreni. Dari pernyataan [10], pernyataan [7] dan [8] adalah palsu. Tapi bila Alex pembunuh Sukreni, pernyataan [7] dan [8] tidak mungkin palsu keduanya. Tapi dari pernyataan [11], mung-kin pernyataan [4] benar atau [1] palsu. Dari kesimpulan ini, Alex bukan pembunuhnya.”
“Bagus…Alex bukan pembu-nuh.” Aku mencoret namanya dengan tinta merah. “Lalu, menu-rutmu, Letda Putu?”tanyaku pada partner yang selalu kuandalkan menganalisis kasus-kasus rumit.
“Pembunuhnya Made atau Didin, pak,”tukasnya mantap.
“Oke. Show me the logic.”
“Karena pembunuh itu ada-lah pelukis, maka [8] adalah benar. Bila [1] benar, maka [2] akan benar (bukan pelukis); jadi [1] tak mungkin benar. Maka Made tentunya pelukis, setidaknya ko-lektor. Bila [4] benar, maka [7] tentu benar, karena hanya ada satu pelukis. Tapi yang benar hanya empat pernyataan, jadi [4] dan [7] tak mungkin benar. Didin bukan pelukis, hanya bisa melu-kis; maka dia tak terlibat pembu-nuhan Sukreni. Jadi pernyataan [5] adalah benar. Dengan demi-kian, yang benar adalah pernya-taan [8] dan [5].”
“Seorang pelukis yang mem-bunuh Sukreni?” kataku meyakin-kan.
“Ya, pak. Alex tidak membu-nuh Sukreni,”timpal Letda Putu.
“Didin juga tak terlibat pem-bunuhan Sukreni?”
“Tepat. Didin tidak terlibat.” Bripka Jono ikut menyimpulkan.
Kami saling berpandangan. “Berarti Made!”
“Ya, Made pembunuhnya. Pelukis, juga kolektor.”
Kegirangan aku berteriak dalam hati. “Lalu motifnya?”
“Mencermati hasil ini, serta BB yang ada, pernyataan [6] dan [9] benar adanya. Hanya pernya-taan [3] yang palsu. Made memang sahabat lama Sukreni, tapi diam-diam mencintai Sukreni begitu da-lam. Benar teori Bapak, tiada persahabatan antara lelaki dan perempuan. Dia cemburui siapa pun yang mendekatinya. Intinya, tak seorang pun boleh memiliki-nya.”
“Tapi mengapa harus mem-bunuh?”
“Jika hidup, Sukreni akan jatuh ke pelukan orang lain. Bagi-nya itu sangat menyakitkan. Dan dengan kematian itu, Made bisa beraudiensi dengan Sukreni dalam dimensi lain, yakni imajinasi dan ilusi dimana Sukreni bisa diba-yangkan secara abadi.”
“Gila! Katarsis yang membu-ta-tuli.” Bripka Jono bersungut-sungut.
Letda Putu menimpali: “Ma-de telah mengalami ekstasi keaba-dian.”
Ruanganku senyap sejenak. Aku menghela napas dalam-dalam. “Gentlemen, good job. Terima ka-sih,”kataku sambil menyalami me-reka. “Sekarang, proses mere-ka.”
“Siap, pak,”sahut keduanya serentak, memberi hormat.
***
Kini aku mematung dalam hampa. Kulihat jaket cokelat gelap, sarung tangan, dan topeng wajah di dalam laci meja kerjaku. Kini dadaku berdegup-bergemuruh tak menentu. Namun, dalam kepa-hitan ini aku harus merayakan kemenangan, sebuah kemenangan muslihat atas kebodohan dan ke-jujuran. Mereka telah terperang-kap dalam permainanku. Semua-nya berjalan persis sesuai rencana. Sebuah rencana dalam permainan sang Waktu.
Kini kembali terbayang upa-cara Ngaben Sukreni. Aku sendiri, terpencil, di dalam Sel Kehidupan, bersama bayang-bayang Sukreni yang pasi. Entah sampai kapan.
Sukreni, maafkan aku. Aku sungguh mencintaimu, sampai ke kedalaman dan keluasan dan ke-tinggian yang jiwaku mampu capai, tatkala perasaan mengkristal da-lam keberadaan dan kepurnaan. Aku mencintaimu sampai ke kese-nyapan hari, demi matahari, demi bulan dan sinar lilin. Cintaku bebas, sebebas aku memperebut-kan Hak. Cintaku tulus, setulus doa-doa orang dalam pengharapan purna. Aku mencintaimu dengan segala nafsu, namun juga semurni cinta anak-anak yang bebas dari dusta. Aku mencintamu dengan se-gala kesucian jiwa yang pernah ada. Aku mencintaimu dengan na-pas, senyum, air mata, dan sega-lanya dalam hidupku—dan jika Tuhan mengizinkan, aku akan men-cintaimu jauh lebih baik setelah kematian.[iv] Tunggulah aku agar kau bisa melihat bahwa semua ucapanku benar. Sekarang, istira-hatlah dalam damai.
Denpasar, 15 September 2006


[i] Sampean (Jw) = sapaan (keakraban) untuk kamu/kalian
[ii] Terjemahan puisi Robert Burns “A Red, Red Rose”
[iii] Picasso (1881-1973), pelukis dan pematung Spanyol.
[iv] Diadaptasi dari puisi Elizabeth Barret Browning “How Do I Love Thee?”
Catatan:
Cerpen ini keluar sebagai Juara II lomba cerpen HUT-8 Denpost 2006, dan dimuat pada Denpost, Minggu 8 Oktober 2006.

2 komentar:

aph_nee mengatakan...

i am so sorry sir if i did not use english language to give a comment in this blog...

menulis cerpen, terkadang salah satu hiburan yang bisa membuat saya lebih pribadi mengungkapkan sesuatu. menjadi cerpenis dan novelis, adalah keinginan saya. tetapi, terkadang saya masih belum bisa membuat yang lebih membuat orang terpukau dan takjub pada tuisan saya seperti cerpen ini. sebenarnya saya ingin benar-benar membuat cerpen yang tidak mudah ditebak oleh pembacanya. karena sudah terlalu banyak cerpen yang sudah bisa ditebak akhirnya.tapi, ketika saya membaca awal cerita ini, jujur saya menganggap biasa, maaf pak, karena pasti ujungnya soal cinta dan agak lebih menengah, sepertinya bisa ditebak kalau pembunuhnya adalah orang yang merasa terhina, yaitu polisi itu. tetapi, saat saya baca terus menerus, timbul rasa takut, deg2an, dan rasa penasaran yang tinggi. dan, saya menyimpulkan, saya sangat menyukai cerpen ini. inilah cerpen yang selalu ingin saya baca, bukan hanya membuat pembaca merasa suka, lalu lupa saat tak membacanya lagi. tapi cerpen ini sungguh berbeda, karena cerpen ini bisa membuat pembaca ikut berperan di dalamnya. selain itu, tidak hanya menceritakan cinta yang seperti pada umumnya. tetapi, sebuah kisah cinta yang terkadang tidak begitu dijangkau oleh penulis. karena, saya menganggap hanya beberapa saja penulis yang menayangkan tulisan seperti ini dan kejadian seperti ini sangat jarang terjadi. apalagi pengungkapan cinta dari puisi atau kata2, menambah tulisan ini lebih menakjubkan. saya sangat menyukainya.

my creative forum mengatakan...

Afni.....maaf banget ya, aku dah lama tidak menyentuh blog-ku sendiri. Belakangan ini baru sadar kembali untuk menghidupkannya.
Karena itu, begitu aku membaca komen-mu, saya terhanyut dan takjub atas setiap kalimat yang engkau torehkan.
Terima kasih atas segalanya. Mudah2an engkau memapu menulis cerpen yg jauh lebih dahsyat dan berhasil.
Gud Luck. Best wishes, khoisi