It’s A Place for Self-Reflection, The World of Words Expressing Limitless Thoughts, Imagination, and Emotions

Sabtu, 22 Januari 2011

Puisi: MEMOAR KITAB TUA


Dalam kolong waktu yang kian penat membawa luka
tertatih-tatih merambah sudut-sudut senyap gulita,
insan tua coba mencari lembar-lembar kitab berserakan
di antara celah langit dan persada yang kian menua
yang bisa berbisik lewat huruf-huruf purbanya
: Simak, simaklah, pesan lebah yang telah rela
  tawarkan sesarang madu dan tembang pelipur lara
: Baca, bacalah, hikmah pesan ilalang bergoyang
  yang senantiasa rela berdoa siang dan malam.

Diseretnya kaki rentanya yang t’lah terkikis masa
sambil menggendong sebakul sajak daun kerontang
yang lama meronta terkurung gedung-gedung raksasa
dan terpanggang oleh jilatan udara penuh jelaga;
lalu dipungutnya selembar lagi dari kitab sahaja
: Lihat, lihatlah, keramahan tak lagi menyapa
  dengan setali bunga anggrek atawa mawar.

Ditatapnya langit dan gulungan mendung pekat
menanti jawaban yang gelegarnya luruh dalam bisu
dan tertelan derit mesin, knalpot bajaj, pun jerit massa
: Dengar, dengarlah, mengapa kini tubuhku yang layu
  tega kaulumuri darah kauhunjami belati dan parang
  hingga buncah-buncah luka lama kian anyir menganga?

Terseok-seok ia memanggul teka-teki kian berkarat
dalam sudut-sudut hati yang tak henti teriris-iris
: O, kemana lagi hendak kutemukan lembar kitab suri
  yang kepadamu menerangkan suara Ilahi yang bertebaran
  di antara gelisah bumi dan rintih-tangis langit?
  : “Bukan Aku yang kini enggan mencintai
      tapi kau t’lah lupakan luruhnya embun pagi;
      Bukan Aku yang tidak sudi mengakrabi
      tapi kau t’lah memahat jarak selaksa lebih.”

Meski ia sadar bukan sebagai Sisyphus atawa Rummi,
dikumpulkannya lembar demi lembar kitab abadi
yang dipungutnya dari cawan-cawan fakir miskin;
Lalu, dengan napas tersengal, dipanjatkannya doa sekeping
: Kapan, kapankah, ya Rabbi, ya Pembaca hati
  Kauabadikan tembang ibu yang melipurku semasa bayi?
 : “Ah, doamu hanya buih-buih yang kian mengelabu
      mengusir kepiting pantai dan burung-burung rantau
      hingga tembang merdu pun tak lagi sudi sejuki hatimu.”

Napasnya kian tersengal, terhimpit ruang menyempit
yang diciptakannya dengan pagar duri tanpa tepi;
lalu, dengan suara berat, bergumam ia dengan lirih
: O, anakku, catatlah ini adalah suatu pencarian
  butir-butir sari tersisa di jalanan yang berduri
  sebuah kitab yang bisa bertutur bagai insan bijak
  yang mengundangku menyimak suara emasnya
  tertambat oleh aliran kejernihan madu nurani
  dan dari wujud keutuhannya kutemukan jati-diri
  -- ada atas tiada dan manusiawi atas hewani—
  yang bakal mengekal bukan hanya dalam memori.

: O, anakku, ingat, ingatlah ini adalah saksi perjanjian
  atas arus laut yang sudah lama lupakan riak-riaknya;
  sedang aku terapung-apung menggapai sebuah kitab
  yang terhantam badai hingga terpental entah kemana
  sambil melukiskan amanat makna di wajah fatamorgana
  : Aku hendak melanglang bersama angin senja
    menyusupi sekian lorong-lorong kesunyian nurani
    di tengah-tengah sandiwara ruang dan waktu basi
    dan coba menyingkap tabir si benar dan si bathil
    memaklumkan kesungguhan atas kepura-puraan
    yang membelaimu dengan kasih damai, mungkin—
    bagai Romeo mencumbui Juliet dengan samodera cinta.

Kini ia melangkah lunglai dalam desah napas hambar
seakan ia melonglong panjang terhimpit setungku bara
hingga suaranya membubung tinggi bersama kepul asap
: O, anakku, buka, bukalah lebar mata bathinmu
  ‘tuk saksikan debu-debu peradaban lembayung
  dan memahatkannya dalam prasasti sajak-sajakmu
  sebab aku, oh, aku tak lagi kuasa atas laksa waktu.


Surabaya, 30 April 1994  

Tidak ada komentar: